Lembaga Managemen Kolektif (LMK)
Lembaga Manajemen Kolektif (LKM)
- April 15, 2022
Lembaga Manajemen Kolektif
Kedudukan
Dalam UU Hak Cipta yang Baru bagaimana posisi YKCI, WAMI dll sebagai lembaga penarik royalti selama ini? Lembaga Manajemen Kolektif harus mendapat izin dulu dari Menteri, apakah YKCI, WAMI dll dapat menarik royalti sekarang walaupun belum ada izin dari Menteri?
Sebenarnya pertanyaan mengenai bagaimana kedudukan dari sebuah Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia sudah seringkali dimunculkan baik oleh masyarakat awam ataupun oleh masyarakat yang sehari-hari bersentuhan dengan karya-karya seni yang memiliki hak cipta. Ada juga muncul kebingungan, ketika beberapa kali mendengar pertanyaan bagaimana cara mendaftarkan hak ciptanya ke YKCI, Ternyata Ditjen HKI kalah tenar dengan YKCI. Banyak pula yang merasa bahwa Lembaga Manajemen Kolektif sebenarnya tidak punya wewenang apapun untuk “mengutip” keuntungan dari pihak yang mempergunakan ciptaan orang lain karena merasa tak ada urusan dengan Lembaga Manajemen Kolektif. Sebenarnya posisi Lembaga Manajemen Kolektif ini sangat membantu para Pencipta/Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait jika mereka telah berfungsi dengan baik dan negara mengakui keberadaan mereka. Istilah sederhananya, para Pencipta/Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait tak perlu repot-repot menjaga karya mereka karena akan ada lembaga yang membantu mengumpulkan royalti dari penggunaan secara komersial karya cipta mereka.
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta memang tidak merumuskan mengenai adanya Lembaga Manajemen Kolektif selain hanya menyebut wakil lembaga profesi. Lalu bagaimana dengan RUU Hak Cipta yang baru disahkan?
RUU Hak Cipta yang baru disahkan memang sepertinya berusaha memenuhi tuntutan masyarakat akan kejelasan posisi dan status Lembaga Manajemen Kolektif ini. Lihat saja, mulai dari Pasal 1 angka 22, Lembaga Manajemen Kolektif sudah ada dalam definisi. Dikatakan sebagai berikut:
Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
Kemudian, RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini juga memasukkan Bab khusus mengenai Lembaga Manajemen Kolektif pada Bab XII. Pengaturan mengenai Lembaga Manajemen Kolektif ke dalam Undang-Undang ini yang mana dimaksudkan untuk memperjelas status hukum Lembaga Manajemen Kolektif, tentunya bagi banyak kalangan memang merupakan sebuah kemajuan yang berusaha diberikan oleh RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini. Sayangnya, pasal-pasal mengenai Lembaga Manajemen Kolektif yang ada pada RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini masih tidak jelas.
Bab XII mengenai Lembaga Manajemen Kolektif memang mengatur mengenai bagaimana sebuah Lembaga Manajemen Kolektif harus beroperasi di Indonesia dengan persyaratan-persyaratannya.
Pasal 87 mengatur bagaimana hubungan antara Pencipta/Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait, Lembaga Manajemen Kolektif, dan Pengguna. Berikut isi lengkap Pasal 87 RUU Hak Cipta yang baru disahkan:
Pasal 87
(1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
(2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
(3) Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan.
(4) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Dalam Pasal 88 diatur mengenai bagaimana sebuah Lembaga Manajemen Kolektif harus memiliki ijin dari Menteri untuk dapat beroperasi:
Pasal 88
(1) Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) wajib mengajukan Permohonan izin operasional kepada Menteri.
(2) Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
b. mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti;
c. memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 (dua ratus) orang Pencipta untuk Lembaga Manajemen Kolektif bidang lagu dan/atau musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;
d. bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti; dan
e. mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.
(3) Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti.
Jika kita melihat kedua pasal tersebut di atas, kelihatannya pasal-pasal tersebut sudah cukup baik, sampai kemudian muncul kata “nasional” pada Pasal 89 ayat (1) yang kemudian menghilang lagi pada ayat (2), (3), dan (4).
Pasal 89
(1) Untuk pengelolaan Royalti Hak Cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) Lembaga Manajemen Kolektif nasional yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut:
a. kepentingan Pencipta; dan
b. kepentingan pemilik Hak Terkait.
(2) Kedua Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial.
(3) Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.
(4) Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran Royalti ditetapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan disahkan oleh Menteri.
Kata “nasional” pada Pasal 89 ayat (1) ini tentu saja membuat tidak jelas jika pada Pasal 87 dan 88 diatur mengenai Lembaga Manajemen Kolektif dengan segala persyaratannya, akan tetapi seolah-olah melakukan penyempitan pada Pasal 89. Ini dapat diartikan bahwa nantinya paling lama dua tahun setelah Undang-Undang ini berlaku, maka hanya akan ada dua Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia. Saya menyebut paling lama dua tahun setelah Undang-Undang ini berlaku, karena pada Pasal 121 butir (g) Ketentuan Peralihan disebutkan sebagai berikut:
“organisasi profesi atau lembaga sejenis dengan sebutan apapun yang telah ada yang tugas dan fungsinya menghimpun, mengelola, dan/atau mendistribusikan Royalti sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dan berubah menjadi Lembaga Manajamen Kolektif dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.”
Pada banyak negara, pengaturan mengenai Lembaga Manajemen Kolektif ini sudah menjadi bagian yang penting. Sebagian negara memegang kendali atau mengawasi Lembaga Manajamen Kolektif, sebagian negara juga ada yang memberikan keleluasan secara independen. China adalah salah satu negara yang memegang kendali atas Lembaga Manajemen Kolektif yang ada di negara tersebut. Campur tangan Pemerintah atau Negara dalam hal ini memang diperlukan untuk menghindari adanya praktek persaingan tidak sehat dan memberikan kepastian hukum akan status Lembaga Manajemen Kolektif itu sendiri.
Jika RUU Hak Cipta yang baru disahkan ini berupaya untuk memperjelas kedudukan dan status Lembaga Manajemen Kolektif secara hukum, maka yang saya tangkap adalah keinginan untuk membagi konsentrasi Lembaga Manajemen Kolektif menjadi dua bagian yang khusus tanpa harus memasukkan kata “nasional” yang membingungkan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 89 ayat (1) tadi, yaitu:
1. Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus mewakili kepentingan Pencipta/Pemegang Hak Cipta;
2. Lembaga Manajemen Kolektif yang khusus mewakili kepentingan Pemilik Hak Terkait.
Yang menjadikan Pasal 89 makin menjadi tidak jelas adalah ayat (3) yang menyatakan:
Untuk melakukan penghimpunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kedua Lembaga Manajemen Kolektif wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing Lembaga Manajemen Kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan.
Pertanyaan yang sangat mendasar adalah “atas dasar apa sebuah Lembaga Manajemen Kolektif berhak mendapatkan royalti?”
Sesuai dengan Pasal 1 angka 21, royalti adalah imbalan atas pemanfaatan Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.
Jika kemudian Pasal 89 menyatakan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif berhak atas bagian masing-masing, meski diikuti dengan kalimat “sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan”, tentunya hal ini sudah bertentangan dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang itu sendiri karena yang berhak untuk mendapatkan royalti berdasarkan Undang-Undang adalah Pencipta atau Pemilik Hak Terkait. Mungkin istilah yang lebih tepat adalah “management fee” sebagaimana disebut dalam dokumen WIPO yang mengatakan:
Management costs are paid for out of the royalties collected. With the rights of public performance and broadcasting—unlike recording rights—the practice is for deductions to be confined to actual, genuine expenses. The percentage of deduction for expenses therefore varies from year to year. Deductions that do not exceed 30 per cent are considered acceptable in the first years of a newly born authors’ society in developing countries; rates have been following a downward trend in recent years. In European collective management organizations there is an average deduction of around 15 per cent. (The Importance of Collective Management of Copyright and Related Rights, WIPO/CR/KRT/05/4, Sudan, January 2005).
Menjawab pertanyaan mengenai bagaimana posisi YKCI, WAMI, dan lain-lain sebagai lembaga penarik royalti selama ini dengan ditetapkannya RUU Hak Cipta yang baru disahkan, tentunya sesuai dengan bunyi yang ada dalam Undang-Undang, jika Lembaga Manajemen Kolektif tersebut masih ingin beroperasi, mereka harus memenuhi persyaratan yang ada pada Undang-Undang yang baru.
Pasal 88 ayat (1) RUU Hak Cipta yang baru disahkan menyatakan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) wajib mengajukan Permohonan izin operasional kepada Menteri dan ayat (3) menyebutkan bahwa Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti. Akan tetapi, mengingat RUU Hak Cipta yang baru disahkan itu sendiri tidak jelas, maka kita berharap bahwa Peraturan Menteri yang akan mengatur mengenai tata cara permohonan dan penerbitan izin operasional, serta evaluasi mengenai Lembaga Manajemen Kolektif dapat segera diterbitkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 93.
Pasal 93
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan penerbitan izin operasional, serta evaluasi mengenai Lembaga Manajemen Kolektif diatur dengan Peraturan Menteri.
Lembaga manajemen kolektif seperti YKCI, WAMI, dan lain-lain itu tidak serta merta harus berhenti beroperasi karena belum memiliki ijin operasional dari Menteri, karena sesuai dengan Ketentuan Peralihan, organisasi profesi atau lembaga sejenis dengan sebutan apapun yang telah ada yang tugas dan fungsinya menghimpun, mengelola, dan/atau mendistribusikan Royalti sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dan berubah menjadi Lembaga Manajamen Kolektif dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, Upaya Indonesia Menekan Pembajakan Musik
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, Upaya Indonesia Menekan Pembajakan Musik
Foto: Antara / Dhoni Setiawan
Metrotvnews.com, Jakarta: Membahas pembajakan karya cipta sepertinya tidak ada habisnya. Selain luasnya sudut pandang, pembahasan ini juga berpacu dengan teknologi yang terus berkembang, yang di satu sisi mempermudah akses masyarakat mendapat konten bajakan.
Pembajakan tidak semata-mata berbentuk fisik dan unduhan, memperdengarkan karya musik kepada khalayak melalui media penyiaran seperti televisi dan radio tanpa seizin pemilik karya termasuk penyalahgunaan karya intelektual.
Tentu akan jadi repot jika televisi atau radio harus meminta izin setiap saat ingin memutar lagu, entah dalam bentuk klip atau sebagai latar musik sebuah acara. Melihat persoalan itu, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan hak Asasi Manusia mendirikan Lembaga Manajamen Kolektif Nasional.
Lembaga ini nantinya menjembatani antara pengguna karya dan pemilik karya. Sehingga, mereka yang menggunakan konten musik untuk kepentingan komersial dan publik bisa mengurus segala kepentingan soal hak cipta melalui satu pintu, yaitu Lembaga Manajemen Kolektif Nasional.
Hal ini sekaligus menjawab persoalan pengurusan hak cipta yang kerap jadi perdebatan di rumah karaoke.
"Semua tayangan lagu yang ditayangkan lewat broadcasting atau misal karaoke menjadi legal sepanjang user itu membayar ke lembaga kolektif," kata Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCBArb, dalam diskusi soal hak cipta di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (6/5/2015).
Sayangnya, lembaga ini baru fokus soal hak cipta di bidang musik. Belum merambah ke bidang kreatif dan seni lain seperti film.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional mulai aktif pada 7 Mei 2015. Guna memaksimalkan perannya, beberapa musisi terlibat di tubuh lembaga ini, di antaranya Rhoma Irama, Sam Bimbo, dan Ebiet G. Ade.
PERSYARATAN LMK
Memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan lembaga managemen kolektif. Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait, menjadi anggota lembaga managemen kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dan hak terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
Pengguna hak cipta dan hak terkait yang memanfaatkan hak tersebut diatas, membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait, melalui lembaga managemen kolektif.
Pengguna sebagaimana tersebut diatas membuat perjanjian dengan lembaga managemen kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar royalti atas hak cipta dan hak terkait yang digunakan.
Tidak dianggap pelanggaran, pemanfaatan ciptaan dan atau produk hak terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan
Lembaga managemen kolektif, sebagaimana tersebut diatas wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri. Izin operasional tersebut harus memenuhi syarat :
Berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba.
Mendapat kuasa dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak Terkait untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti
Memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 2OO (dua ratus) orang Pencipta untuk Lembaga Manajemen Kolektif bidang lagu.dan/atau musik yang mewakili kepentingan pencipta.
Memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 50 (lima puluh) orang untuk Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili pemilik Hak Terkait dan/atau objek Hak Cipta lainnya;
Bertujuan untuk menarik, menghimpun, dan mendistri busikan Royalti; dan;
mampu menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait.
Lembaga Manajemen Kolektif yang tidak memiliki izin operasional dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti.
Untuk pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan atau musik dibentuk 2 (dua) lembaga managemen kolektif nasional yang masing masing mempresentasikan keterwakilan sebagai berikut :
a. Kepentingan pencipta.
b. Kepentingan pemilik terkait.
Kedua lembaga tersebut diatas memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna yang bersifat komersial. Kedua lembaga ini wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran royalti yang menjadi hak masing masing lembaga managemen kolektif dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktek berdasarkan keadilan. Ketentuan mengenai pedoman penetapan besaran royalti ditetapkan oleh lembaga managemen kolektif dan disahkan oleh Menteri.
Dalam melaksanakan pengelolaan hak pencipta dan pemilik hak terkait lembaga managemen kolektif wajib melaksanakan audit keuangan dan audit kinerja yang dilaksanakan oleh akuntan publik paling sedikit 1 (satu) tahun sekali dan diumumkan hasilnya pada masyarakat melalui 1 (satu) media cetak nasional dan 1 (satu) media elektronik.
Lembaga managemen kolektif hanya dapat menggunakan dana operasional paling banyak 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya. Pada 5 (lima) tahun pertama sejak berdirinya lembaga managemen kolektif dapat menggunakan dana operasional paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari jumlah keseluruhan royalti yang dikumpulkan setiap tahunnya.
Menteri melaksanakan evaluasi terhadap lembaga managemen kolektif paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun. Hasil evaluasi ini bila tidak memenuhi ketentuan yang ditentukan dapat dicabut izin operasionalnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan dan penerbitan izin operasional, serta evalusi mengenai lembaga managemen kolektif diatur dengan Peraturan Menteri.
Pelantikkan Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional
Jakarta, 20 Januari 2015, bertempat di Ruang Aula Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menjadi moment bersejarah bagi insan musik Indonesia, dimana pada hari ini dilaksanakan pelantikan Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Pencipta dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Hak Terkait. Sesuai ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta jo Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif dan Keputusan Menteri No. M.HH-01.01 Tahun 2014 tentang Penetapan Panitia Seleksi Calon Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait.
Panitia Seleksi Calon Komisioner LMKN Pencipta dan LMKN Hak Terkait, dengan susunan sebagai berikut :
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Erry Riyana Hardja Pamekas
Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D
Didi Irawadi, S.H., LLM
Heru Nugroho
Addie MS
Panitia Seleksi telah menetapkan 10 orang Komisioner yang terdiri dari 5 orang Komisioner LMKN Pencipta dan 5 orang Komisioner LMKN Hak Terkait dengan susunan sebagai berikut:
Komisioner LMKN Pencipta :
H. Rhoma Irama
James Freddy Sundah
Adi Adrian (Adi KLA Project)
Dr. Imam Haryanto, Drs. SH., MH
Slamet Adriyadie
Komisioner LMKN Hak Terkait :
Rd. M. Samsudin Dajat Hardjakusumah (Sam Bimbo)
Ebiet G. Ade
Djanuar Ishak
Miranda Risang Ayu, S.H., L.LM, P.Hd
Handi Santoso
Tugas dari LMKN Pencipta dan LMKN Hak Terkait berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 29 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif ini adalah :menyusun kode Etik LMK di bidang lagu dan/atau musik;
Memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pengurus LMK; memberikan rekomendasi kepada Menteri terkait dengan perizinan LMK di bidang lagu dan/ atau musik yang berada di bawah koordinasinya;
menetapkan sistem dan tata cara penghitungan pembayaran royalti oleh pengguna kepada LMK;
menetapkan tata cara pendistribusian royalti dan besaran royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait;
melakukan mediasi atas sengketa Hak Cipta dan Hak Terkait; dan
memberikan laporan kinerja dan laporan keuangan kepada Menteri.
Masa jabatan Komisioner LMKN Pencipta dan Komisioner LMKN Hak Terkait adalah 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Dengan terbentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ini para Komisioner wajib segera menyusun anggaran dasar, kode etik LMK di bidang lagu dan/atau musik dan menetapkan tata cara pendistribusian royalti dan besaran royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait agar Pencipta dan Pemegang Hak Terkait, para pengguna dan masyarakat pada umumnya mendapatkan kepastian hukum.
LMKN memiliki tugas utama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta untuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.Dengan dilaksanakannya fungsi dimaksud diharapkan tercapai beberapa hal sebagai berikut:
Pencipta dan Pemilik Hak Terkait mendapatkan hak-haknya sehingga dapat memeberikan kesejahteraan kepada mereka dan sekaligus meningkatkan kreatifitas untuk menciptakan dan memproduksi lagu dan/atau musik baru;
Keberadaan LMKN akan menjadi instrumen penting sebagai institusi pendukung ekonomi kreatif sebagai salah satu unggulan ekonomi nasional;
Terbentuknya LMKN merupakan bukti kesungguhan pemerintah terhadap nasib para Pencipta dan Pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/atau musik yang selama ini belum memperoleh haknya secara layak;
Agar para pengguna mematuhi kewajibannya membayar royalti untuk lagu dan/atau ,musik yang digunakan dalam usahanya, para pengguna meliputi: broadcasting, karaoke, perhotelan, restaurant dan tempat lainnya yang menggunakan musik untuk kepentingan komersial.
LMKN juga merupakan induk dari seluruh LMK di bidang lagu dan/ atau musik yang ada di Iondonesia. Atas rekomendasi LMKN ini Menteri Hukum dan HAM cq Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual mengeluarkan ijin operasional untuk seluruh LMK
Disamping Komisioner, pemerintah juga membentuk Tim Pengawas dan Evaluasi LMKN yang bertugas mengawasi dan mengevaluasi Kinerja LMKN yang terdiri atas :
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. (sebagai pengarah)
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (ex officio)
Prof. Dr. Eddy Damian
Erry Riyana Hardja Pamekas
Hein Enteng Tanamal
Addie MS
Heru Nugroho
Abdee Negara Nurdin
Meliana (Melly Goeslaw)
Dengan dilantiknya Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Pencipta dan Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional Hak Terkait diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya didalam menetapkan sistem dan tata cara perhitungan pembayaran royalti serta menetapkan cara pendistribusian royalti dan besaran royalti untuk Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Pemilik Hak Terkait dengan ditariknya royalti dari pengguna secara professional, akutanbel dan transparan sehingga seluruh manusia kreatif Indonesia dapat terus berkarya dan menjadi yang terbaik.
Description: LOGO PENGAYOMANKEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL
DIREKTORAT HAK CIPTA DAN DESAIN INDUSTRI
FORMULIR IZIN OPERASIONAL LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF
HAK TERKAIT/OBYEK CIPTAAN LAINNYA.
Text Box: No Agenda :LAMPIRAN – I
Bagian I : Informasi Data Pemohon
Nama Badan Hukum :
Status Badan Hukum :
Penanggung Jawab :
Alamat Domisili :
Alamat Sekretariat :
Negara : Kota : Kode Pos :
Telepon : Fax : Email :
Contact Person : Mobile Phone :
No. KTP :
NPWP Badan Hukum :
Bagian II : Persyaratan Permohonan
Bersama ini terlampir dokumen terkait dengan Permohonan
1. Dokumen Utama
a. Akta Pendirian Badan Hukum
b. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Badan Hukum
2. Melampirkan Jumlah dan daftar anggota Minimal 50 anggota (dilampirkan terpisah)
3. Dokumen Perjanjian
a. Perjanjian Pemberian Kuasa Dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta kepada LMK
b. Perjanjian Pemberian Mandat Dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta kepada LMK
4. Dokumen Lainnya:
a. Penghitungan Royalti
b. Hasil Audit (apabila sudah beroperasi lebih dari satu tahun)
c. Peraturan Pendistribusian Royalti
d. Perjanjian Kemitraan dengan pihak asing (jika ada)
5. Biaya Pendaftaran Rp………………………… dibayar dalam Bentuk
*Tunai/Transfer Bank no Dilampirkan.
6. Surat Pernyataan (terlampir)
7. Kami menyatakan bahwa informasi yang diberikan dalam permohonan ini adalah sebenar-benarnya.
Text Box: No Agenda :LAMPIRAN – II
Tanda Tangan Pengurus LMK
(…………………………………………..)
Nama :
Jabatan :
Tanggal :
Bagian C :
Pembayaran Diterima
Diterima oleh,
(…………………………………………..)
Nama Petugas :
Tanggal :
Text Box: Alamat Surat Menyurat ditujukan ke:*pilih salah satu
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 7-8 Kuningan, Jakarta 12940, Indonesia
Telepon (021) 5524993 Faksimile (021) 5524993 email: docopyright@yahoo.com
Laman: http://www.dgip.go.id
FORMULIR IZIN OPERASIONAL LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF PENCIPTA
No Agenda :
LAMPIRAN – I
Bagian I : Informasi Data Pemohon
Nama Badan Hukum :
Status Badan Hukum :
Penanggung Jawab :
Alamat Domisili :
Alamat Sekretariat :
Negara : Kota : Kode Pos :
Telepon : Fax : Email :
Contact Person : Mobile Phone :
No. KTP :
NPWP Badan Hukum :
Bagian II : Persyaratan Permohonan
Bersama ini terlampir dokumen terkait dengan Permohonan
1. Dokumen Utama
a. Akta Pendirian Badan Hukum
b. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Badan Hukum
2. Melampirkan Jumlah dan daftar anggota Minimal 200 (dilampirkan terpisah)
3. Dokumen Perjanjian
a. Perjanjian Pemberian Kuasa Dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta kepada LMK
b. Perjanjian Pemberian Mandat Dari Pencipta/Pemegang Hak Cipta kepada LMK
4. Dokumen Lainnya:
a. Penghitungan Royalti
b. Hasil Audit (apabila sudah beroperasi lebih dari satu tahun)
c. Peraturan Pendistribusian Royalti
d. Perjanjian Kemitraan dengan pihak asing (jika ada)
5. Biaya Pendaftaran Rp………………………… dibayar dalam Bentuk
*Tunai/Transfer Bank no Dilampirkan.
6. Surat Pernyataan (terlampir)
7. Kami menyatakan bahwa informasi yang diberikan dalam permohonan ini adalah sebenar-benarnya.
No Agenda :
LAMPIRAN – II
Tanda Tangan
(…………………………………………..)
Nama :
Jabatan :
Tanggal :
Bagian C :
Pembayaran Diterima
Diterima oleh,
(…………………………………………..)
Nama Petugas :
Tanggal :
Text Box: Alamat Surat Menyurat ditujukan ke:*pilih salah satu
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 7-8 Kuningan, Jakarta 12940, Indonesia
Telepon (021) 5524993 Faksimile (021) 5524993 email: docopyright@yahoo.com
Laman: http://www.dgip.go.id
Radio, TV, dan karaoke wajib bayar royalti
Radio, TV, dan karaoke wajib bayar royalti
Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh penyanyi maupun pencipta lagu di Indonesia. Dalam revisi Undang-Undang (UU) Hak Cipta Nomor 19 tahun 2012, pemerintah bakal makin mempermudah mereka mendapatkan imbalan atau royalti atas lagu-lagu yang diputar di tempat karaoke dan stasiun radio.
Dalam RUU Hak Cipta yang saat ini sudah diserahkan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut, selain royalti dari perusahaan rekaman dan produser lagu, pemilik hak cipta bisa menagih imbalan kepada siapapun yang menggunakan ciptaannya secara komersial.
Direktur Jenderal (Dirjen) Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Ahmad Ramli mengatakan, untuk mempermudah penagihan royalti hak cipta, pemerintah mengusulkan pembentukan organisasi non pemerintah yang bernama Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). "Perlu ada aturan khusus," katanya ke KONTAN, Senin (17/2).
Jika DPR menyetujui usulan pemerintah dan disahkan menjadi undang-undang, maka tidak ada alasan lagi bagi stasiun radio, stasiun televisi (TV), tempat karaoke untuk menolak pembayaran royalti atas setiap lagu, film, dan karya seni yang mereka putar.
UU ini akan menjadi payung hukum bagi para pencipta lagu, karya seni, dan penulis, untuk membentuk Lembaga Manajemen Kolektif guna menagih hak mereka. "Besaran biaya yang bisa ditagih, nantinya diatur sesuai kesepakatan," kata Ahmad.
Perlu sosialisasi
Dalam draf final RUU Hak Cipta yang sudah diserahkan pemerintah ke DPR menyebutkan, LMK dibentuk oleh pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak yang berkaitan dengan hak cipta, atau masyarakat. LMK menghimpun dan mendistribusikan imbalan atas hasil hak cipta yang digunakan secara komersial
RUU ini rencananya segera dibahas oleh DPR. Bahkan saat ini DPR sudah membentuk panitia khusus (Pansus) RUU Hak Cipta. Anggota Pansus RUU Hak Cipta dari Fraksi Partai Golkar, Tantowi Yahya mengatakan, revisi UU Hak Cipta bertujuan agar pencipta karya dan juga industri yang menaunginya, bisa tetap mendapatkan hak yang seharusnya diterima.
Salah satu perusahaan yang akan terkena dampak dari RUU ini adalah perusahaan tempat karaoke. Menanggapi ini, pelaku bisnis karaoke menyatakan mendukung kebijakan tersebut. Managing Partner Alegro KTV, Slamet Agus Priyono mengatakan, pihaknya mendukung apa yang dilakukan pemerintah.
Apalagi tempat karaoke milik Maia Estianti ini mengklaim selama ini pihaknya sudah membayarkan royalti atas semua lagu yang mereka putar ke Collecting Managament Organization (CMO) yang dibentuk perusahaan rekaman. "Itu sudah kami berikan, tapi kalau yang minta sendiri-sendiri, memang langsung kami delete," katanya ke KONTAN, Senin (17/2).
Pengamat musik sekaligus pemilik stasiun Bens Radio di Jakarta, Bens Leo meminta jika sudah disahkan, pemerintah harus gencar sosialisasi aturan agar bisa mempermudah akses pencipta lagu, penulis buku dan seniman untuk mendapatkan hak mereka. Selain itu, agar manajemen radio dan stasiun televisi, tempat karaoke mengetahui kewajiban. "Pencipta lagu dan seniman bisa mengetahui hak mereka," katanya.
Hotel Putar Lagu Wajib Bayar Royalti
Terhitung sejak tanggal 18 Nopember 2016 kemarin, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), terapkan pembayaran royalti bagi seluruh hotel berbintang maupun non bintang yang memutarkan lagu sebagai hiburan. Royalti itu berdasar hukum dari undang – undang nomor 28 tentang Hak Cipta, sebagai turunan dari Undang – Undang Hak Cipta yang ada sejak tahun 2014.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat PHRI, Hariyadi BS. Sukamdani, saat ditemui pada Musda PHRI wilayah NTB pada Jumat (18/11) 2016 mengatakan, pembayaran royalti nantinya akan dipungut langsung oleh Lembaga Management Kolektif Nasional (LMKN) setiap tahunnya. Adapun rincian pembayaran yakni, bagi hotel non bintang dengan kapasitas pelayan di atas 61 kamar, akan dikenakan pembayaran royalti senilai 1 juta rupiah, sementara untuk hotel non bintang dengan kapasitas dibawah 60 kamar tidak dikenakan royalti.
“Itu untuk yang hotel non bintang ya 1 juta rupiah, kalau yang berbintang dibawah 50 kamar itu 2 juta rupiah, lalu antara 51 sampai dengan 100 kamar itu 4 juta rupiah, 101 sampai 150 kamar itu 6 juta rupiah dan 151 sampai dengan 200 kamar itu 8 juta rupiah. Nah diatas 200 kamar sampai seterusnya itu bayar royalti 12 juta rupiah, semuanya dihitung pertahun,” katanya.
Ketentuan pembayaran royalti wajib dalam Undang – Undang Hak Cipta ini sebelumnya sempat menjadi kontroversi, lantaran banyaknya hotel yang hadir disetiap daerah. Juga adanya aturan yang di anggap belum transparan oleh pihak hotel yang belakangan dapat di sepakati bersama. Dalam ketentuan hak cipta tersebut disepakati, jika ada hotel yang tidak memutar lagu yang di populerkan oleh pihak lain, maka hotel tersebut diharapkan untuk melakukan deklarasi.
Menurut Hariyadi, deklarasi itu nantinya akan bersifat mengingat. Karena jika nanti hotel tersebut ditemukan melanggar deklarasinya, maka akan dikenakan penalty berupa teguran dan sekaligus wajib membayar royalti yang ditentukan.
“Jadi artinya kita dari PHRI mencoba untuk mengakomodir kepentingan semua pihak. Ini bukti bahwa kita juga menghargai karya cipta, jika tidak nanti pencipta lagu bilang PHRI mau untung sendiri tidak menghargai hak cipta,” ujarnya.
Hukum dan Hak cipta
Komentar
Postingan populer dari blog ini
LMK Asirindo
- April 15, 2022
Gambar
1. Apa dan siapa Asirindo ? Asirindo adalah sebuah lembaga manajemen kolektif yang berdiri berdasarkan Akte Notaris dan berdasarkan ijin dari Kementri Hukum dan Ham Republik Indonesia untuk mengurusi hak – hak para produser rekaman dan perusahaan rekaman dalam memberikan lisensi/ijin reproduksi karya rekaman suara milik para produser dan perusahaan rekaman di Indonesia untuk keperluan pengumuman music di wilayah hukum Indonesia Asirindo adalah badan yang menerima secara langsung kuasa dari masing – masing produser/ perusahaan rekaman untuk mengurus dan meng-administrasikan serta mengelola semua royalty atas Lisensi/ijin reproduksi karya rekaman suara seperti maksud diatas. 2. Apa yang dikerjakan oleh Asirindo ? Asirindo ditunjuk oleh para produser rekaman dan perusahaan rekaman di Indonesia sebagai satu –satunya badan untuk mengurus dan mengadministrasikan seluruh sistem pemberian Lisensi/Ijin untuk Hak reproduksi yang dimiliki secara exclusive oleh Produser dan perusahaan ...
Read more »
TINJAUAN HUKUM LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF PADA HAK CIPTA BERDASARKAN UU NO. 28 TAHUN 2014
- April 15, 2022
Gambar
Negara Indonesia yang memiliki sumberdaya manusia dan berbagai macam budaya yang sudah dianggap maju khususnya dalam di bidang seni musik, tidak pernah berhenti untuk berkarya. Karya yang dihasilkan ini terkadang begitu mudah dipakai, ditiru, atau digandakan oleh pihak lain dengan berbagai model. Karya cipta seni musik dilindungi oleh hak cipta dan hak terkait. Hak cipta dan hak terkait adalah merupakan hak ekslusif (hak moral dan hak ekonomi) bagi pencipta atau pemegang hak cipta, sehingga kepadanya diberikan hak untuk melarang orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tanpa seizinnya. Seseorang yang menggunakan hak ekonomi orang lain tanpa seizin dari pencipta adalah merupakan pelanggaran. Untuk menjaga hak tersebut dibutuhkan suatu lembaga yang dapat membantu untuk mengurus setiap penggunaan hak cipta orang lain baik yang sudah melalui izin ataupun yang belum. Lembaga ini dikenal dengan Lembaga Manajemen Kolektif/LMK ( collective management organization/ CMO )....
HALKIT lAW OFFICE
Komentar