TEHNOLOGI MEMPRIHATINKAN INDUSTRI MUSIK INDONESIIA
TEHNOLOGI MEMPRIHATINKAN INDUSTRI MUSIK INDONESIIA
Jika dulu membeli album musik hanya bisa
dilakukan di “toko kaset resmi” kini album musik bisa dibeli sembari makan ayam
goreng di KFC, belanja mie instan dan odol di Indomaret, atau sembari mengisi
bensin di SPBU Pertamina.
Sementara yang sudah tahu teknologi dan
hidupnya bergantung dengan jaringan internet, cukup duduk depan komputer,
ketik-ketik sedikit kode, lalu album musik sudah bisa dinikmati dengan cepat,
secepat loading .
Merilis album pun kini sangat mudah. Aktivitas
rekaman bahkan bisa dilakukan di kamar tidur. Sound yang di thun bisa
dipoles sana-sini. Promo album pun bisa memanfaatkan platform media
sosial yang murah dan nyaris tak berbayar. Apalagi kalau ada koneksi dengan medsos.
Lalu masihkah album jadi pencapaian tertinggi
buat musisi?
Saat era million copies band sudah masuk
museum, label-label rekaman di Indonesia
masih saja ngotot menjual album dengan metode monopoli. Maka tidak mengherankan
kalau label rekaman pun menggunakan segala cara supaya albumnya terjual,
termasuk dengan menjual album melalui restoran ayam goreng, warung es teler,
toko kelontong, sampai pom bensin.
Cara penjualan tadi kemudian diklaim sebagai
keberhasilan mampu menjual puluhan ribu keping album. Padahal kalau mau dirunut
lebih jauh lagi, apakah mereka yang membeli album tadi memang benar-benar
membeli karena aspek preferensi atau karena terpaksa karena sudah satu paket
dengan barang yang dibeli.
Persoalan lain adalah garis batas yang begitu
tipis antara membajak dan membagi. Saat file sharing begitu masif,
terstruktur, dan sistematis, label-label rekaman masih saja menjual album yang
kualitasnya tak jauh beda dengan file hasil unduhan.
Di negara yang masyarakatnya rela sikut-sikutan
demi sembako, nominal adalah krusial. Angka 25 ribu rupiah untuk album dengan sound
ambyar dan artwork seadanya adalah opsi terbuka untuk mendatangi
warung internet dengan sewa 5 ribu per jam dan memenuhi berpuluh giga media
penyimpanan digital.
Dengan hilangnya segala sensasi album tadi,
menjual penampilan live saat konser adalah pilihan paling logis.
Jika sebelumnya panggung adalah pijakan menuju
studio rekaman, maka kini sebaliknya. Ibarat tugas akhir, konser adalah segala
pertanggungjawaban musisi atas apa yang sudah mereka lakukan di studio. Apalah
artinya menaruh segala bebunyian aneh-aneh dari instrumen yang namanya
rumit di album, namun saat dibawa manggung ternyata lebih lama soundcheck daripada
on stage karena bingung mengakali skill yang terbatas.
Di negara yang industri musiknya sudah bagus,
konser membuat asap dapur musisi mengepul lebih lama. Tahun 2013 lalu, Billboard
mencatat konser menyumbang sekitar 68,9 persen pendapatan dari 40
artist yang masuk dalam daftar Music’s
Top 40 Money Makers 2013.
Sementara untuk pendapatan dari tur, Bon
Jovi menghasilkan sekitar 205 juta dolar AS lewat penampilan
di depan lebih dari dua juta penggemarnya di 90 konser berbeda selama
tahun 2013 yang semua tiketnya ludes terjual.
Di Indonesia keadaanya berbeda. Meski dalam satu dekade
dunia showbiz Indonesia makin menggeliat, masih agak susah untuk
mengharapkan konser menjadi pilihan primer musisi untuk “menjual” karya mereka.
Padahal dalam beberapa kasus, pihak promotor
berusaha memberikan treatment yang sama antara musisi mancanegara
dengan musisi lokal. EQ Puradiredja dari Java Festival Production menerangkan
bagaimana pihaknya berupaya memberikan tempat yang sama antara headliner mancanegara
dengan bintang lokal di Java Rockin’land lewat produksi konser yang tidak
dibedakan. Sedangkan promotor konser “NOAH: Born To Make History” sengaja
mematok harga tiket termurah 385 ribu rupiah supaya public lebih menghargai
artist lokal.
Begitu juga dengan konser /rif dan Sheila On 7
pada 19 September lalu yang mematok harga 300 ribu rupiah untuk tiket termurah.
Andi /rif bilang “Pertunjukan yang bagus harus dibayar dengan harga baik pula.”
Sementara menurut Duta,”Di saat masyarakat enggak bisa kasih penghargaan beli
album, masa nonton juga enggak sih.”
Artis daerah lebih prihatin lagi karena jarang konser lagu daerah dan
hanya mengharapkan panggung cafe,acara Ultah,party dan lain-lain dengan
tarif sangat minim.
Selain Konser café adalah tempat ajang cari makan
hari-hari dengan tariff berbeda,Meski demikian, saya masih yakin konser adalah
pilihan tepat untuk bertahan hidup bagi musisi. Pertama, jelas pendapatan.
Meski susah untuk mendapatkan data pendapatan musisi Indonesia setiap tahunnya
(mungkin takut dikejar petugas pajak), namun Hai tahun 2005 pernah mencatat
Dewa 19 sebagai band terkaya di Indonesia dengan pendapatan mencapai lebih dari
14 miliar setahun, dengan bayaran tiap tinggi.
Kedua, konser mengembalikan tempat musisi
sebagai musisi, bukan sebagai salesman. Cukup sudah cara-cara konyol
berjualan di restoran atau toko kelontong. Tempat terhormat musisi adalah di
panggung.
Ketiga, konser adalah seleksi alam. Di era
teknologi rekaman makin dipermudah, cara terbaik menilai seorang musisi adalah
lewat konser.
Keempat, konser adalah cara terbaik berkomunikasi
dengan fans. Fanpage di Facebook , akun Twitter, sampai aplikasi pesan
instan di ponsel sampai kapanpun tidak akan menjawab kerinduan fans.
Kelima, konser adalah tempat terbaik membuka
lapak dagangan. Saat took kaset berubah memilih menjual jus daripada album,
menjual album dan merchandise saat konser adalah pilihan tepat.
Sekarang lebih tepat untuk berlatih dengan
entertainment yang teruji di panggung daripada buat album dengan modal besar penjualan
minus,para musisi kembalilah ke panggung seperti era jaman dulu sebelum ada
recording.Musisi lebih baik hidup dari panggung ke panggung daripada bikin
album.
Komentar